Namaku Ririn Rinjani. Itu adalah nama pemberian kakek. Aku lebih akrab dengan kakeku ketimbang ibuku sendiri. Sekarang kakekku sudah meninggal. Waktu itu aku masih duduk dibangku kelas 1 sekolah dasar. Aku masih terlalu polos untuk mengartikan kesedihan yang Ibu dan Ayahku rasakan kala itu. Yang aku tahu, kakek pulang ke surga. Itu yang ibu katakan padaku.
Seminggu setelah kepergian kakek. Aku mimpi bertemu kakek. Aku diajaknya jalan-jalan ke tempat yang menurutku indah sekali. Banyak orang disana dengan pakaian serba putih, wajah mereka bercahaya, dan suasana yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata indahnya. Rasanya ibu dan ayah belum pernah mengajakku ke tempat seindah ini. Kakek bilang ini adalah rumahnya sekarang dan kelak aku juga akan pulang kesini. Begitu katanya.
Sebelum kakek mengantarku pulang. Ada semacam cahaya berwarna hijau muda keluar dari telapak tangan kakek. Kakek memberikan cahaya itu kepadaku.
"Simpan ini baik-baik ya, Rin." kata kakek.
"Ini apa, Kek?" Aku bingung untuk apa cahaya itu.
"Nak, bangun sayang. Sudah adzan subuh, ayo bangun. Kita sholat berjama'ah bareng ayah." Belum juga kakek menjelaskan ibuku tiba-tiba membangunkan.
"Hoammm... Ibu... mana Kakek, Bu? Tadi aku ketemu Kakek." celotehku yang masih setengah sadar.
"Kakek?"
"Sudah ayo bangun. Nanti ayah marah loh kalau kelamaan nunggu." kemudian ibu menggendongku ke kamar mandi.
"Sudah ayo bangun. Nanti ayah marah loh kalau kelamaan nunggu." kemudian ibu menggendongku ke kamar mandi.
Selesai sholat berjama'ah, aku cerita ke ibu dan ayah kalau tadi aku ketemu kakek, aku juga bilang kalau aku sempet diajak jalan-jalan sama kakek ke surga, katanya.
"Kakek titip salam buat ibu dan ayah."
"Kakek titip salam buat ibu dan ayah."
"Bilang sama kakek, Walaikumsalam." keduanya menjawab dengan penuh senyum.
Mungkin mereka pikir aku hanya mengigau. Ceritaku tadi hanya dianggap bunga tidur biasa yang semua orang juga mengalami. Bagiku? tidak.
***
Aku jelas melihatnya, aku tidak sedang mabuk atau apapun. Dia melihat ke arahku dengan tatapan yang mengerikan. Wajahnya setengah hancur, ada banyak bekas luka disekujur tubuhnya. Entahlah luka karena apa, yang jelas baju yang Ia kenakan nampak sangat kotor, darah segar masih mengalir dari balik luka-lukanya itu. Aku begidik melihatnya. Aku takut.
Aku berusaha untuk tidak melihat ke arahnya lagi. Aku berusaha mempercepat langkahku. Tunggu! kenapa kakiku sulit sekali untuk sekedar digerakkan. Tubuhku terasa kaku. Tatapan itu semakin tajam menghujatku.
'Ya Tuhan. Kenapa ini? Siapa dia? Ada apa dengan tubuhku?' Aku masih berusaha untuk mengendalikan tubuhku. Ditengah ketakutanku yang amat sangat, tiba-tiba dia menghilang tanpa jejak dan tubuhku kembali bisa ku kendalikan. Aku bingung, 'Apa yang barusan terjadi, siapa dia, dan ada apa denganku?'
Semenjak kejadian itu, pikiranku dibuat kacau. Di sekolah aku tidak bisa fokus belajar.
"Rin, kenapa, sih? Kok daritadi bengong gitu?" Senny nampak sangat khawatir melihat sahabatnya yang sedari pagi terlihat murung.
Tak ada respon apapun dari Ririn, Ia masih sibuk dengan segumpal pertanyaan memenuhi pikirannya.
"Rin!" Senny masih dengan kekhawatirannya yang berlebih.
"Rin!!" suara Senny sedikit meninggi.
"Eh? ada apa"
"Kamu kenapa sih kok aneh gitu? Ada masalah? Cerita dong. Biasanya juga gitu, kan?" Berondong Senny.
"Ah, nggak ada apa-apa kok." Ririn gelagapan.
"Kamu aneh! Ya sudah. Ayo pulang. Udah sore, tuh!" ajaknya ketus. Senny beranjak meninggalkan Ririn sendirian dikelas.
"Sen, tungguin dong..." Sedikit berlari Ririn mengejar kawannya itu. Rupanya Senny terlanjur kesal dengan sikap acuh Ririn barusan.
"Maafin aku dong... Kamu jelek ih kalau cemberut gitu. Bukan Senny chubbyku lagi gitu mah..." Ririn mencoba membujuknya.
"Au ah! Kamu ngeselin." Senny semakin mempercepat langkahnya.
"Iya deh maaf. Nggak lagi-lagi, sumpah." Ririn menahannya dengan tatapan -kucing minta makan- jurus andalan setiap kali Senny marah seperti sekarang. Nyatanya jurus itu tak pernah gagal.
"Oke. Kali ini aku maafin. Lain kali, maaf, nggak akan." Senny dengan tampang jutek.
Keduanya melenggang meninggalkan area sekolah yang sudah mulai sepi. Sepanjang perjalanan pulang, Ririn menceritakan semua keanehan-keanehan yang Ia rasakan beberapa hari ini. Mulai dari sering mendengar suara-suara aneh seperti tangisan seseorang, suara langkah kaki, suara tertawa juga lainnya. Dia juga bercerita bahwa dia seringkali melihat sosok seperti bukan manusia karena wujudnya yang menyeramkan. Senny tak lantas langsung mempercayai ceritanya itu, Ia hanya berpendapat kalau mungkin Ririn hanya berhalusinasi saja. Tapi Ririn yakin semua kejadian itu nyata. Katanya tegas.
***
Ririn masih sibuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan besok pagi padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah duabelas malam. Seharusnya Ririn sudah tidur dari jam sepuluh tadi. Demi tugas yang sudah diambang deadline, Ririn dengan segenap jiwa-raga menahan rasa kantuknya.
Tak sadar, disampingnya tengah berdiri sosok yang pernah Ia lihat beberapa hari lalu. Entah berapa lama dia disana, namun Ririn baru bisa merasakan keanehan itu sekarang, sekitar lima menit yang lalu. Mendadak bulu kudukknya merinding, hawa dingin pun mulai merasuk hingga ke tulang. Ririn melihat sekeliling tidak ada apa-apa disana. Ia pun kembali fokus dengan tugasnya yang tinggal dua tiga nomor lagi.
PRANGGG !!!
Bingkai foto yang tergantung di dinding mendadak jatuh dan pecah berantakan padahal Ririn tidak menyalakan kipas angin atau apapun yang membuatnya jatuh. Samar Ririn melihat bayangan hitam disudut dekat jendela kamarnya. Ririn menghentikan aktifitas belajarnya dan menyakinkan diri bahwa disana tidak ada apa-apa. Ririn melangkah lebih dekat ke arah pojokan. Dan... benar, tidak ada apa-apa disana.
"Fyuhhh..." nafas Ririn panjang.
Sesaat setelah Ririn berbalik badan,
DEG!
Dia berdiri tepat dihadapan Ririn dengan wajahnya yang setengah hancur dan tatapan yang mengerikan. Sontak Ririn berteriak kencang hingga Ibu dan Ayahnya berlarian menghampiri Ririn. Dipeluknya segera putri kesayangannya,
"Kenapa, nak. Kamu nggak apa-apa, kan?" Ibunya sangat khawatir.
Ayah memeriksa sekeliling, sepertinya tidak terjadi masalah disana. "Disini nggak ada apa-apa, Bu. Kayaknya Ririn mengigau, deh?" Tebak Ayah sembari terus memeriksa setiap sudut kamar Ririn.
"Ya sudah sekarang kamu tidur ya, nak. Biar ibu temenin kamu disini." Ibunya sudah terlelap, namun Ririn masih belum bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang baru saja Ia alami. Semua itu nyata. Iya, nyata dan Dia melihatnya.
***
Senin pagi, saatnya upacara bendera. Ririn ditugaskan sebagai pengibar bendera. Di samping kanan ada Putri dan di kiri ada Senny. Ketiganya sangat rapih menjalankan tugas mereka. Sampai saat Ririn kembali melihat sosok itu, dia yang semalam datang ke kamarnya. Sontak Ririn kaget, berteriak dan menutup matanya karena takut. Alhasil lipatan bendera yang berada ditangannya jatuh sebelum petugas lainnya mengibarkan bendera tersebut. Suasana di lapangan upacara pun mendadak ricuh karena ulah Ririn. Guru-guru menghampiri Ririn dan menanyakan keadaanya. Dia masih shock untuk sekedar bercerita soal penglihatannya yang semakin aneh saja. Ririn diboyong ke ruang UKS ditemani Senny. Tugas Ririn dan Senny sudah ada yang menggantikan, upacara kembali dilanjutkan.
"Rin, sebenernya kamu kenapa, sih? aku perhatikan akhir-akhir ini kamu makin aneh. Suka bengong gitu dan teriak nggak jelas?"
"Nggak tahu. Aku juga nggak tahu, Sen."
"Apa mungkin yang pernah kamu ceritakan dulu soal kakekmu ada kaitannya dengan kejadian ini? mungkin nggak sih, Rin?" Senny mulai menerka-nerka.
Matanya menerawang, "Entahlah. Bisa jadi seperti itu, Sen." Katanya pelan.
Seharian itu Ririn terus diliputi ketakutan. Ia jadi paranoid. Untungnya Senny mengerti keadaan sahabatnya itu. Dia terus menemani Ririn sepanjang hari disekolah. "Rin, nih kamu makan dulu." Senny menyodorkan sepotong roti panggang dan sebotol air mineral untuk Ririn. Dia tahu, Ririn belum makan dari pagi. "Makasih sayang." Ririn dengan senang hati menerimanya. Senny memang sahabat kecil terbaiknya.
Ketika Ririn sedang berjalan sendirian menuju ruang guru. Ia dikagetkan dengan sosok itu lagi yang tiba-tiba muncul tak jauh dari pandangannya.
"Mbak, tolong aku."
JEGERRR!!!
Dia bicara sesuatu ke Ririn. Ririn kaget mendengarnya. Kenapa juga dia bisa mendengarnya? Ini semakin aneh saja. Ririn tidak mau ini semua terjadi.
"Kamu siapa? mau apa kamu?" Katanya ketus.
"Saya mau kamu tolongin aku."
"Tolongin apa? sana pergi! Aku nggak mau lihat kamu." Ririn melangkah sedikit berlari berharap sosok itu hilang dan tak menemuinya lagi.
BRUKKK! Karena berlari Ririn tidak tahu kalau dihadapannya berjalan seseorang gurunya. Ia menabrak pak Cahyadi guru bahasa asing.
"Ma... maaf pak." Nafasnya ngos-ngosan.
"Kamu nggak usah takut. Hadapi saja. Mereka tidak apa-apa, kok." Terangnya tiba-tiba.
"Heh? maksud bapak?"
"Kamu nggak usah takut. Bapak tahu kamu bisa menghadapi mereka." Jelasnya semakin membingungkan Ririn. Dia seolah tahu semua kejadian itu. Entah bagaimana caranya Dia mengetahui semua hal tersebut.
Keduanya duduk dibangku taman dekat parkiran sekolah. "Biar bapak jelaskan." Katanya kemudian.
"Bapak juga seorang yang memiliki kemampuan seperti kamu."
"Maksud bapak? kemampuan seperti apa?"
"Jadi kita itu adalah orang-orang terpilih yang mampu berinteraksi dengan mereka."
"Maksud bapak kita ini indigo?"
"Seratus buat kamu. Iya kita memang terpilih sebagai seseorang yang memiliki six sence."
"Terus kenapa bapak bisa setenang itu. Kalau aku sendiri sebenernya nggak mau kayak gini. Aku takut."
"Ini takdir, Rin. Hadapi saja. Nggak usah takut. Mereka nggak apa-apa kok, percaya sama bapak."
Ririn hanya diam merenungi apa yang baru saja Ia ketahui tentang kemampuannya itu. Dilubuk hatinya ingin sekali Ia bisa menolong mereka. Tapi kenyataan itu terlalu menakutkan Ririn. Terlebih Ia adalah seorang perempuan.
"Ciye... kayaknya ada yang baru deket nih sama pak Cay." Pak Cay, begitu anak-anak biasa memanggil Pak Cahyadi. Selain orangnya Humble, beliau juga akrab dengan murid-muridnya. Jadi tidak heran kalau Senny juga sok akrab sama beliau.
"Apa sih? Nggak."
"Ah masa... terus yang waktu disekolah itu apa coba?"
"Kepo banget sih."
"Tuh kan. Keliatan deh ada apa-apa nih pasti."
"Sotoy kamu. Wekkk..."
"Ciye... ada yang baru jadian. Ciye..." Senny terus menggodanya sepanjang perjalanan pulang kerumah. Keduanya memang sejak kecil sudah bersahabat bahkan sebelum mereka lahir pun kedua orang tua mereka sudah bersahabat.
Sesampainya dirumah, Ririn semakin penasaran dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh pak Cahyadi. Dia harus berani melawan rasa takutnya itu. Dia nggak mau terus-terusan dianggap 'aneh' bahkan 'gila' oleh teman-temannya.
Sosok itu kembali lagi. "Apa yang sebenernya kamu inginkan dariku?!"
"Aku ingin kamu menolong saya. Tolong saya, mbak." Wajahnya kini berangsur berubah tidak semenyeramkan kemarin.
"Kenapa kamu meminta tolong kepadaku?!"
"Karena saya tahu mbak bisa menolong saya."
"Darimana kamu yakin aku bisa menolongmu?!"
"Saya tahu dari matanya mbak."
"Memangnya apa bedanya? Mataku biasa aja, tuh!"
"Mbak bisa lihat saya. Mbak itu special. Maka dari itu saya yakin mbak bisa menolong saya."
Aku kaget. 'Apa benar mereka tahu dari hanya dengan melihat mata saya?'
"Memangnya apa yang harus saya lakukan?" Berkali-kali aku mengatur nafasku mencoba terbiasa dengan keadaan seperti ini.
"Aku mau kamu menemui istri saya dan bilang kalau saya masih belum bisa baik kalau dia masih terus-terusan menangisi kepergian saya. Saya mau dia ikhlas supaya saya bisa pulang dengan tenang."
"Coba ceritakan dulu. Nama kamu dan meninggal kenapa?"
"Saya Aryo. Waktu itu saya sedang mengambil gambar dalam sebuah kerusuhan. Karena berita yang saya muat dianggap menggangu dan mengancam karir salah seorang petinggi negara. Sepulang bekerja saya ditarik paksa dan dibawa ke sebuah gudang kosong oleh dua orang tinggi, besar. Lalu saya disiksa, ditendang dan dipukuli dibagian wajah saya sampai hancur begini. Ketika melihat saya yang sekarat mereka kemudian memberondong saya dengan peluru bertubi-tubi dan akhirnya saya seperti sekarang." Jelasnya penuh amarah. Rahangnya nampak mengeras, giginya gemerutuk, tatapannya kembali tajam dan menyeramkan.
"Mas Aryo jangan emosi gitu. Nanti saya tolongin kok. Sabar ya." Aku mencoba menenangkan.
"Sekarang dimana aku harus menemui istri mas Aryo?"
"Dia tinggal didaerah dekat jalan layang Sudirman. Nanti saya antar kamu ke rumah istri saya."
"Ok, deh mas. Aku mau istirahat dulu. Mas Aryo besok lagi kesini. Nanti aku bantuin, janji."
"Sebelumnya terimakasih mbak sudah mau bantuin saya." Katanya serasa tersenyum kemudian menghilang.
"Sen, tolong kamu bilang ke kakak senior ya, kayaknya hari ini aku ijin tidak ikut latihan paskibra. Ada perlu soalnya." Aku, Ririn. Sambil membereskan tasnya dan bersiap-siap pulang.
"Memangnya mau kemana kamu buru-buru gitu?"
"Mau tau aja apa mau tau banget?"
"Ih... kamu apaan deh. Ngeselin. Huh!" Sungut Senny.
"Hahaha... Lagian kamu kepo banget. Terserah aku dong mau kemana juga." Ririn melenggang keluar kelas dengan santainya.
"Wah, parah. Awas aja nggak aku ijinin ke kakak senior. Wekkk..."
"Eh? Jangan gitu, plisss..." Dengan lagi-lagi memasang tampang -kucing minta makan- Senny kembali luluh oleh rayuan Ririn.
Setibanya dikamar, mas Aryo rupanya sudah menunggu kedatangan Ririn. "Gimana, mbak? Sekarang?" Mas Aryo tidak sabaran.
Setelah siap dengan segenap tekad untuk menolong mas Aryo, Ririn menatap pasti ke arah mas Aryo. Ririn menancap sekuter maticnya melaju kencang menuju alamat yang mas Aryo beritahukan. Tidak sampai satu jam Ririn sudah berhasil memarkirkan maticnya di depan sebuah rumah sederhana berwarna hijau muda. Tanpa basa-basi Ririn mulai mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak lama setelah beberapa kali ketukan pintu, muncul seorang ibu muda dengan menggendong anak kecil yang lucu, kira-kira umurnya sekitar 27 tahunan.
"Maaf, mbak. Nyari siapa ya?" Tanyanya ramah.
"Saya Ririn, mbak. Temennya mas Aryo."
"Mas Aryo? Mas Aryo kan sudah..." Belum juga selesai dengan perkataannya, "Iya, mbak. Saya temennya mas Aryo. Tapi baru jadi temen setelah mas Aryo meninggal ya, mbak. Bukan pas masih hidup." Jelasku memotong. "Boleh saya masuk, mbak?"
Sontak istri mas Aryo kaget dengan pernyataan yang aku berikan. Terlebih aku yang main nyelonong masuk saja sebelum istri mas Aryo mempersilahkan. Mas Aryo tersenyum melihat ulah remaja ku yang labil begitu.
"Jadi bagaimana mbak bisa ketemu sama mas Aryo. Mas Aryo sudah lama meninggal, mbak." Selidik istri Mas Aryo.
"Ceritanya panjang, mbak. Aku kesini cuma mau nyampein pesan dari mas Aryo buat mbak."
"Memangnya mas Aryo pesen apa sama mbak?" Katanya sambil terus menggendong anaknya yang terlihat mulai ngantuk. Anaknya baru berumur 1 tahun lebih dua bulan, kata istri mas Aryo.
"Iya, mbak. Terserah deh mbak mau percaya atau tidak sama yang aku sampein nanti. Tapi intinya saya cuma mau nyampein kalau mas Aryo mau mbak ikhlasin kepergian mas Aryo, mbak. Mas Aryo nggak mau mbak terus-terusan nangisin mas Aryo. Biar mas Aryo bisa tenang disana. Mas Aryo juga mau mbak nyari kebahagiaan lagi, biarkan mas Aryo menjadi kenangan indah di hidup mbak. Mas Aryo mau mbak menikah lagi. Supaya ada yang bisa jagain mbak dan si kecil. Mas Aryo mau mbak bahagia. Itu kata mas Aryo, mbak." Jelasku panjang lebar.
Wajahnya mendadak berubah sendu, matanya kini berkaca-kaca, mungkin sebentar lagi akan terurai. Ia terus menatap haru anaknya. Seolah mengisyaratkan untuk anaknya agar dia juga bisa ikhlas dengan kepergian ayahnya itu.
"Mbak, terimakasih ya sudah memberitahukan kami. Memang saya masih belum ikhlas dengan kepergian mas Aryo yang mendadak itu, mbak. Tapi jika memang begitu mau mas Aryo, saya juga nggak mau mas Aryo tersiksa disana. Saya juga mau mas Aryo tenang disana dan bahagia disurgaNYA." Katanya sambil terisak. Air matanya kini tumpah membanjiri wajah cantiknya.
Refleks, aku pun segera memeluk istri mas Aryo mencoba memberikan ketenangan. "Mbak, kalau mau ada yang disampaikan ke mas Aryo bilang saja. Mas Aryo ada disini, kok." Bisikku pelan.
Dia menatapku sesaat, "Iya, mbak. Tolong samapaikan ke mas Aryo, saya sudah mengihklaskan kepergiaanya dan insya allah saya juga akan mencari kebahagiaan seperti yang mas Aryo katakan itu, mbak." Mas Aryo tersenyum bahagia mendengar jawaban istrinya, 'Makasih, mah. Ayah yakin mamah bisa mencari pengganti ayah dan bapak yang baik buat anak kita. I love you, mah.' Mas Aryo seraya mencium kening istrinya. Entah istrinya merasakan atau tidak yang jelas mas Aryo sudah tenang sekarang. Seyelah sebelumnya berterimakasih kepada Ririn kemudian mas Aryo berangsur menghilang dibalik cahaya putih yang menyilaukan.
Hari ini aku belajar tentang bagaimana caranya seseorang untuk ikhlas melepaskan kepergian seseorang yang dicintai dan bagaimana untuk tidak selalu membalas dendam atas kejelekan yang telah orang lain perbuat terhadap kita. Seperti mas Aryo dan istrinya yang memiliki ikatan cinta yang luar biasa. Mungkin takkan pernah terpisahkan meski berbeda alam.
Semenjak kejadian itu. Aku seolah terbiasa dengan kehadiran mereka yang mendadak. Aku tidak lagi menjerit ataupun lari ketika mereka dengan tiba-tiba muncul entah darimana. Terkadang aku lebih memilih berinteraksi dengan mereka ketimbang dengan teman-teman lainnya. Karena aku pikir, lebih banyak pelajaran yang bisa aku petik dari setiap kejadian bersama mereka. Entahlah, mungkin aku sudah terbiasa dengan semua ini. Aku yakin, dengan kemampuan ini aku bisa bermanfaat bukan hanya untuk mereka tetapi juga untuk orang lain disekitarku. Aku yakin.
###
Ja matta na...
cie...cie... mengarah ke fiksi ya sekarang :)..
BalasHapussukses terus, salam untuk kakek di alam mimpi
Nice story, tapi EYD nya dong.. -_-"
BalasHapussuch as,
"Simpan ini baik-baik ya, Rin." Kata kakek.
-" 'kata' bla bla bla.
kata, ucap, ujar, seru, papar setelah kutip harusnya di tulis huruf kecil. Tapi cek lagi aja, Ben-kun :3
kayak novel yah
BalasHapus