Sahabat Blogger

Kamis, 10 Oktober 2013

Between the rain

source
Tidak sampai lima menit, hujan turun dengan derasnya. Segera aku pinggirkan maticku bersamaan dengan pengguna jalan lainnya dibawah fly over daerah Sudirman. Beberapa dari mereka nampak sudah kuyup. Untungnya aku lebih cekatan, sehingga sedikit saja dari bagian depan kemejaku yang basa.

Aku mulai bosan karena hujan yang tak kunjung reda. Mulai mencari-cari solusi bagaimana mengusir rasa bosan ini. Setelahku kunci ganda maticku, kemudian beranjak untuk sekedar mencari barangkali ada penjual minuman hangat semacam wedang jahe atau semacamnya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku melihat seorang ibu-ibu, nampaknya menyediakan apa yang aku butuhkan. Aku hampiri ibu tersebut, aku pesan wedang jahe engan beberapa potong gorengan sebagai pelengkap.

"Bu, sudah lama jualan disini?" daripada tidak ada teman mengobrol, aku mencoba berbincang dengan ibu penjual wedang.

Namanya ibu Supi. Beliau sudah menekuni usahanya selama lebih dari 10 tahun. Ketika ditanya, "Apakah ibu tidak takut sama petugas?" dengan wajah yang cenderung pasrah, "Itu sih udah jadi makanan sehari-hari, mas. Takut sih ada, tapi mau bagaimana lagi. Kalo nggak kayak gini, mau dikasih makan apa anak-anak ibu dirumah." katanya sambil membolak-balik gorengan bakwannya diatas wajan.

Yah... aku cukup mengerti dengan penderitaan ibu Supi ini. Memang, di negara ini hal semacam itu sudah tidak asing lagi. Giliran pedagang kecil ditindas, sedang pengusaha minimarket yang sekarang-sekarang ini tumbuh bak jamur dikulit, dibiarkan sama sekali. Miris.

Ketika aku mulai menikmati suasana perbincangan ditengah hujan seperti ini, ada diantara mereka yang berteduh berhasil mengalihkan pandanganku. Dalam beberapa detik kami sempat beradu pandang, rasanya berbeda. Entahlah...

Layaknya adegan dalam FTV, dengan anggun Ia mengibas-kibaskan rambut panjangnya yang sebelumnya Ia kuncir. Hitam, panjang, mempesona.  Kemeja warna pink yang Ia kenakan terlihat tranpasan akibat bercak hujan, ditambah setelan rok pendek selutut mempertontonkan kakinya yang jenjang. Wajahnya begitu manis dengan bibir tipis mengkilat semakin menambah gerah saja.

"Mas, kok ngelamun. Itu wedangnya dilalerin." tegur Bu Supi membuyarkan lamunanku.

Selasa, 08 Oktober 2013

Idola baru : Panggil dia 'Mumu'

SELAMAT DATANG OKTOBER,
SELAMAT KARENA GUE BISA MENULIS LAGI,
OK!
SELAMAT MEMBACA.
*Uhuk* 
Mutia Hanifah, F, 21th, Blogger, Ilustrator.
Awalnya gue nggak kenal siapa itu Mumu, darimana dia, tinggal dimana, siapa bapaknya, siapa ketua RT-nya, gue nggak tau sama sekali. Sampai pada akhirnya gue mulai tau siapa sebenarnya dia. Tsahhh...
Awal 'perjumpaan' kami adalah ketika gue membeli sebuah novel kolaborasi dari beberapa penulis absurd dari sebuah komunitas blogger kreatif Indonesia yaitu Kancut Keblenger. Meskipun pada dasarnya mereka bukanlah seorang penulis buku profesional sebagaimana mestinya. Namun dengan semangat juang '45-6, akhirnya mereka berhasil nerbitin novel dengan judul KANCUT KEBLENGER : -DIGITAL LOVE- . Jadi isinya itu tentang curhatan para penulis mengenai pengalaman cinta dunia maya atau bahasa kerennya DIGITAL LOVE yang pernah mereka jalani.
From blogger to writer
Dari beberapa cerita yang dipaparkan dalam buku tersebut, gue tertarik dengan salah satu judul cerita yang dibawakan oleh seorang blogger bernama Mutia Han (@Mutialhanan). Dalam cerita, Mumu (begitu Ia biasa dipanggil) ini nampaknya adalah korban cinta monyet. Soalnya doi sudah maen cinta-cinta-an dari jaman SMP kelas 7 dimana manusia normal umur segitu masih maen engklek depan komplek, lah ini si Mumu sudah ngerasain kontroversi hati gitu. Dasar Mumu -..-" *geleng kepala*

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...