Sahabat Blogger

Rabu, 10 Desember 2014

After Rain

Berulang kali Raka mengusap nisan itu. Membisikkan sesuatu, lirih, menyematkan do’a dalam setiap kalimatnya. Wanita disebelahnya tau, masih ada sedih mendalam dari rautnya. Begitu rapuh, memelas, dan pucat.

“Sudahlah, Ka, Ayo pulang,” Winda mengusap punggungnya. Pelan.
Dia masih bergeming dengan sedihnya.
“Aku tau rasanya kehilangan. Mama pernah bilang, ‘kalo kamu ingin bapak bahagia disana. Ikhlaskan.’ “ pelupuknya meremang. “Sedih tidak akan menyelesaikan masalah, Ka.” lanjutnya.
Dia diam belum beranjak.
“Kalo kamu masih mau disini, terserah. Aku mau pulang!” sebenarnya dia tidak pernah setega ini sebelumnya, apalagi sama dia.
Langit senja kian sendu, gemuruh bersahutan mengiringi langkah keduanya dalam diam dan gerimis pun ikut serta penuh kebimbangan. Raka sadar wanita disampingnya kecewa tapi dia masih belum bisa menghapus sakit atas kehilangan itu.
***
Bukan perkara mudah mengatur sedemikian banyak orang, lain hal dengan menggiring bebek, hanya dengan komando “Hushh, Hushh!” mereka sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan, masuk kandang misalnya. Sedangkan, nge-handle kelompok manusia begini susahnya naudzubillah, terlebih anak-anak. Tapi untunglah, dia selalu ada meringankan segalanya.
“Nggak usah dipaksain, istirahat aja dulu. Biarin yang lain nyelesein tugasnya,” nadanya lembut, mampu mengusir letih tubunya. “Nih, minum.” Ia menyodorkan sebotol minuman pengganti ion tubuh.
Thanks, ya.” dengan sekali nafas Raka menghabiskan isi botol tersebut.
Cahaya senja mampu membiaskan kilau-kilau kristal bening yang kian bercucuran mengguratkan garis tegas di wajahnya. Letih tergambar jelas disana.
 “Capek banget, ya?” Ia dengan tampang polosnya. Raka hanya mendelik sesaat lalu kembali dengan sisa botol minumnya. Waktu-waktu seperti inilah yang membuat Winda enggan beranjak dari duduknya. Sembari memeluk kedua lututnya, seksama Winda memperhatikan setiap pola laki-lakinya, menggemaskan. Ia tersenyum geli dibuatnya.

Hari terakhir persiapan tour tahunan tempat mereka bekerja hampir rampung dikerjakan tim kepanitiaan bentukan Raka. Sebagai ketua, ia bertanggungjawab penuh atas kesuksesan acara tersebut, terlebih soal keselamatan peserta tour beserta anggota tim, dan itu bukanlah hal sepele. Raka sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Raka tidak pernah menganggap jabatan ketua sebagai beban, melainkan ajang latihannya menjadi seorang kepala rumah tangga kelak. Laki-laki wajib memiliki itu, bukan?
Jarum jam sudah menunjuk pukul 22.30 malam. Namun, persiapan tersebut belum sepenuhnya rampung. Melihat semangat kerja anggota tim, Raka memutuskan untuk membubarkan anggotanya agar kembali ke rumah masing-masing. “Guys, cukup untuk hari ini. Otsukare samadeshita.”1
Setelah mengantar Winda pulang, Raka sengaja kembali untuk menyelesaikan semuanya, sendirian, sehingga hari H besok timnya sudah tinggal menyiapkan keberangkatan saja. Bersenang senang, itu tujuan utamanya.
***
            “Sebelum berangkat, mari kita berdo’a demi keselamatan masing-masing,” perintahnya, “berdo’a, mulai.”
Raka masih dengan kepemimpinanya, sigap mengatur segalanya. Sibuk? Pasti. Yang tidak ia ketahui bahwa ada sepasang mata lain mengawasinya seperti elang terhadap mangsanya. Detail Winda memperhatikan setiap gerak-geriknya, dari caranya bicara, ketegasanya dalam memerintah, kebijakanya saat mengambil keputusan, keramahanya saat melayani peserta tour, terlebih anak-anak kecil calon anak-anak mereka kelak. Winda mengamini itu. Raka selalu memprioritaskan anak-anak karena ia suka anak-anak (Eh, maksudnya bukan pedofil, ya :3, menurutnya, anak-anak adalah sebentuk kesempurnaan dari kebahagiaan setiap pasang manusia sehingga harus dijaga dan disayangi, begitu katanya.) Tidak heran jika anak-anak lebih cepat akrab dengannya, aura wajahnya seolah menawarkan kebahagiaan bagi anak-anak, tak terkecuali, Winda. Sesekali pasang mata itu tersenyum melihat tingkahnya. Yap! Winda dengan sejuta kekagumannya terhadap Raka, sang pangeran pujaan. Kenyataanya, Raka tidak tau itu. Belum.
“Yakali senyum-senyum sendiri gitu. ‘Sejak kapan’, mbak?’ Ayu membuyarkan konsentrasinya.
“Heh, maksudnya?”
 “Ciye..., Itu pipi apa udang rebus. Disambelin enak kali. Hhi...,” Lagi, Ayu dengan tingkah jahilnya. Menunjuk-nunjuk pipinya yang merona.
“Apaan, sih. Huh!” Winda mendengus kesal.
“Lagian ngapain coba dilamunin terus gitu. Kalo suka bilang, dong. Atau...,”
“Atau apa?”
“Atau, si Kakang prabumu itu, aku embat. Hha...,”
“Langkahi dulu mayatku, kisanak!”
“Wih, serem. Takut. Kabur, kabur...,” mereka lalu melenggang meninggalkan lamunan kosong beranjak menjemput kenyataan menemukan sang pangeran pujaan.
Bentar, bentar. Mereka? Bukan. Maksudnya, Winda.
***
 Jogja, mendapat giliran tahun ini. Kota dengan sejuta pesona. Selain keindahan alamnya, keramah-tamahan penduduknya pun seringkali menjadi puji wisatawan domestik maupun asing saat berkunjung kesana. Jamuan ala keraton kerajaan sudah menjadi tradisi masyarakatnya saat menyambut tamu istimewa, atau dalam hal ini wisatawan seperti mereka sekarang.
Kurang lebih enam hingga delapan jam perjalanan menuju Jogja. Waktu yang cukup untuk membentuk pantatmu menjadi six-pack. Emang perut aja yang bisa gitu?
Awal-awal perjalanan dimulai, Raka masih sibuk mengatur kebutuhan peserta tour, tentunya dengan dibantu Winda. Walau bukan sebagai anggota kepaitiaaan, Winda dengan ‘sukararela’ melakukanya. Asal..., sama Raka. Cinta selalu punya alasan bahkan untuk hal yang tak beralasan sekalipun.
Fyuhhh, akhirnya selesai juga, ya, Ka.” katanya sembari menenggak tupperwarenya.
“Berkat kamu juga. Thanks, ya.” senyumnya membuat Winda tersedak.
“I.., iya, Ka. Sama-sama.” lagi-lagi pipinya bak udang rebus.
Entah seberapa jauh perjalanan menuju Jogja, yang jelas hari mulai redup, senja pun sudah kembali keperaduan berganti malam dengan hias bintang-bintang pun sorot lampu-lampu jalan ikut meramaikan suasana malam diluaran sana dimana Winda dan Raka duduk beriringan menikmati pemandangan indah itu berdua.
Keakraban yang terjalin antara keduanya, sanggup mengalirkan getaran-getaran aneh menjalari seluruh tubuh. Tidak menyengat memang, namun menggelikan. Demikian kiranya yang Winda rasakan saat ini. Medapat kesempatan langka duduk sebangku dalam bus dengan pangeran pujaan. Jika saja Raka tau bagaimana perasaan wanita disebelahnya saat ini, mungkin dia akan terkejut, pasalnya hatinya kini banyak sekali letupan-letupan kembang api, meriah, gembira, bak pesta.
***
Temaram lampu hias jalanan malioboro, menggambarkan kesan romantisme diantara keduanya. Sesekali Raka membuatnya tergelak penuh tawa karena kekonyolan yang dibuatnya, seperti berpura-pura mencari bapaknya persis pemeran SHIT-netron televisi yang akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan, “Bapa mana, bapa mana, bapa…,”  lengkap dengan tampang bodohnya.
“Sudah-sudah. Perutku sakit ini. Laper. Makan, yuk!” katanya setelah selesai dengan tawanya, “Tapi, kamu yang teraktik. Soalnya kamu yang bikin aku sakit perut sampe kelaperan gini,” belum juga Raka meng-iya-kan, ditariknya paksa lengan Raka menuju salah satu warung makan lesehan.
Setelah memesan beberapa menu favorit masing-masing lengkap dengan es teh manis dan satu kopi jos untuk Raka. Sembari menunggu pesanan datang, dibawah remang lampu jalanan, ditambah riuhnya suasana malioboro, keduanya kembali tenggelam dalam perbincangan yang sedemikian heboh, dari mulai perjalanan kemari, persiapanya, kadang mellow karena curhat colongan yang sesekali Winda tanpa sadar membahasnya, soal hobi, pengalaman bersama teman-temannya, serta banyak hal yang membuat jalinan keakraban diantara mereka tak lagi berjarak. Kini giliran Raka yang baru saja sadar, bahwa wanita didepannya lah yang selama ini mengubah hidupnya menemukan kembali keping-keping kebahagiaan yang sempat berserakan oleh garis takdir yang begitu keras menerjang, dari kesedihan yang sedemikian dalam hingga mampu bangkit dan menemukan senyumnya yang sempat hilang.
 “Hei, ngapain ngaduk-ngaduk kopi mulu. Dengerin aku ngomong nggak, sih?!” dengus Winda. Kesal.
“Eh? I, iya. Aku denger kok,” Raka gelagapan. Hampir tumpah gelas kopi di depannya untung Raka lebih cekatan menangkapnya.
“Denger apa coba?”
“Ya…, itu, yang kamu omongin tadi,”
“Itu apa?!” Winda masih dengan kekesalannya.  “Yang jelas dong kalo ngomong,”
“I, iya deh, maaf.”
“Nah, gitu dong. Bilang aja kalo nggak dengerin aku tadi. Jujur susah amat. Huh!” Winda memiringkan bibirnya, kesal. Namun tidak dengan rautnya. Ia tidak pandai menyembunyikan ekspresi. Ia senang alasan lamunan itu adalah dirinya. Tapi kesal tetap ada. Wanita ~
Selesai menyantap pesanan, keduanya lalu beranjak kearah kerumunan, mencari beberapa souvenir khas Jogja untuk sekadar oleh-oleh wisata bagi sanak keluarga dirumah. Sebelum pulang mereka sempat membeli kaos bergambar sama bertuliskan “Jogja. I’m fallin’ in Love”
Benar. Cinta itu susah dimengerti. Persis seperti kopi jos yang dipesan Raka. Kenapa juga kopi dikasih arang, bukan gula?
***
Raka jelas mengenalnya, tak mungkin ia lupa kepada seseorang yang sedemikian lama mengindahkan harinya, menyenangkan hatinya, mengusir letihnya, pun juga membahagiakan hidupnya. Yap! Dialah sang kekasih yang kini tengah berpulang ke surga. Tapi tunggu. Apa yang dia lakukan disana, sendirian  pula. Bukannya dia seharusnya…, ah sudahlah. Tanpa ba-bi-bu, Raka tergesah menghampirinya,
“Hei,”
 Dia tak menoleh sekalipun.
“Ngapain kamu disini?”
Dia tetap dengan pendiriannya.
“Jangan-jangan kamu sengaja nungguin aku pulang, iya, kan?”
Masih tak ada jawaban. Bisu.
 “Ok cukup!” Raka akhirnya menarik paksa wanita itu agar menghadapnya, menjawab pertanyaanya. Namun apa yang dilihatnya kini tak seperti Raka inginkan. Ia pucat, pandanganya kosong, tak berkedip. Beberapa kali Raka menggoyangkan tubuhnya agar supaya wanitanya itu mau merespon. “Bicaralah, sayang.”
Sedetik kemudian, wanita itu menggerakkan wajahnya, berkedip, dan tersenyum. Lalu mengangkat  lengannya menunjuk  sesuatu yang jauh. Raka mengikuti arah telunjuknya mengarah. Ia melihat sekilas, seseorang yang juga berdiri sendirian seperti menunggu seseorang lain datang, diujung sana, jauh, samar, kabut tebal menghalangi pandangannya.
Wanita itu mendekatkan bibirnya lekat ke arah telinga sebelah kanan Raka. “Berbahagialah sayang, aku rela.” nadanya lirih hampir tidak terdengar.
“Hah?” antara percaya dan tidak dengan apa yang dia dengar dari wanitanya barusan. Akan tetapi belum juga mendapat jawaban atas maksud pernyataanya tersebut. Wanita itu sudah lebih dulu lenyap dari hadapanya, bahkan Raka belum sempat mengenggam tanganya, memeluknya apalagi.

“Ka, bangun, Ka. Sudah sampai. Ayo turun.”
“Hemmm, iya, hemmm…,”
“Ka, ayo!” Winda sudah siap dengan tas bawaaan serta oleh-oleh ditangannya. Siap turun.
Raka mendelik, mengerjapkan mata beberapa kali, mengusapnya, “Jangan pergi, De!” katanya tiba-tiba.
Winda mengernyitkan alis. “Ya, mau turun lah, kemana lagi emang? Ayo!”
***
“Ka, tunggu. Jangan pulang dulu. Aku mau ngomong sesuatu.” katanya menahan Raka.
“Ada apa?”
“Udah kamu duduk dulu sini,” Winda menggandeng lengannya kembali memasuki pagar lalu menyuruhnya duduk di kursi teras depan rumah.
“Mau ngomong apa?”
Winda diam beberapa saat memastikan keadaan. “Tadi kamu sempat memanggilku dengan sebutan ‘De’. Maksudnya apa?”
“Hah, kapan?” Raka polos.
“Tadi, sewaktu kita hendak turun dari bus. Waktu kamu tidur…,”
“Oh, ehmmm…,” Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha mengingat sesuatu. “Ah!” sepertinya dia ingat sesuatu itu.
“Jadi?” Winda dengan nada antusias. Sialnya Winda tidak sadar itu.
“Ah, aku haus. Minta minum, boleh?” –ekspesi kucing minta minum-.
*gubrak!
Tentu saja Winda kesal dengan tingkahnya. Tapi Winda masih punya sedikit kesabaran atas jawaban yang dia inginkan itu. “Tunggu bentar,” katanya agak bête. Lalu masuk ke dapur dan kembali dengan segelas air putih beserta sepiring kue kering untuk camilan. Sengaja, setidaknya itu bisa menahan Raka pergi sebelum menjawabnya.
“Jadi?” Winda mengulang pertanyaanya. Mengharap jawaban.
“Jadi…,” Raka menghentikan aktivitas meminumnya, menaruhnya, lalu beralih menggenggam pergelangan tangan kanan Winda, lembut. Dipandangnya Winda lekat-lekat, seolah menembus hingga jantung, Winda pun keringat dingin atas perlakuannya itu.
“Kamu tau? Apa yang membuatku terus bertahan dengan perasaanku atas dirinya meski telah terpisah. Ehm, maksudku, terpisah karena memang Tuhan lah yang memanggilnya pulang. Karena aku mencintainya, sangat mencintainya. Namun setelah kepergiannya itu, aku tau, life must go on, right?”
“Terus?” semakin tajam Raka menghujam perasaan Winda. Campur aduk, tidak keruan.
            “Sampai akhirnya aku sadar ada kamu yang perlahan mengubah hidupku, mengulurkan tangan, menuntunku untuk tak terus dalam keterpurukan, memapah agar bangkit hingga sekarang. Menemukan kembali senyumku yang pernah hilang.” Raka menghentikan kalimatnya sesaat. Digenggamnya lebih erat tangan Winda. “Aku sadar, aku mencintaimu. Win.”
Jika saja Winda mampu berteriak, maka ia akan sekencangnya mengurai kebahagiaan itu. Betapa tidak, pangeran yang didambanya sejak pertemuan pertama itu, kini seutuhnya menjadi miliknya. Rasanya pesta kembang api dimalam tahun baru pun kalah meriah dibanding suasana hatinya saat ini. Bibirnya kelu untuk sekadar mengatakan “Ya”, wajahnya merah seperti udah rebus, disausin, saus asam pedas, siap santap.
Ketika pada akhirnya ketulusan Winda jugalah yang menyadarkan betapa besar pengorbanannya untuk Raka. Memapah dengan sabar, menyadarkan bahwa tak baik terus terpuruk dalam sakitnya ditinggalkan, meski oleh takdir. Karena hidup harus tetap berjalan maju bukan mengenang masa lalu. Kebahagiaan itu bukan untuk dikenang tapi untuk dinikmati. Karena kesempatan yang sama tidak datang dua kali, maka nikmatilah selagi bisa. Percayalah setiap pengorbanan takkan pernah mengecewakan, bukan?
Alam seolah merestui, menghapus hujan badai semalaman dan menggantinya dengan pelangi saat pagi menjelang. Seperti Raka yang mampu bangkit dari keterpurukannya, menata kembali hidupnya bersama dia yang lain. Winda.
###  
Note : Terimakasih atas kerjasamanya1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu, sesederhana itu saya sudah merasa dihargai.
Terimakasih :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...