Berulang kali Raka mengusap nisan itu. Membisikkan
sesuatu, lirih, menyematkan do’a dalam setiap kalimatnya. Wanita disebelahnya
tau, masih ada sedih mendalam dari rautnya. Begitu rapuh, memelas, dan pucat.
“Sudahlah, Ka, Ayo pulang,” Winda mengusap punggungnya. Pelan.
Dia
masih bergeming dengan sedihnya.
“Aku
tau rasanya kehilangan. Mama pernah bilang, ‘kalo
kamu ingin bapak bahagia disana. Ikhlaskan.’ “ pelupuknya meremang. “Sedih
tidak akan menyelesaikan masalah, Ka.” lanjutnya.
Dia
diam belum beranjak.
“Kalo
kamu masih mau disini, terserah. Aku mau pulang!” sebenarnya dia tidak pernah
setega ini sebelumnya, apalagi sama dia.
Langit
senja kian sendu, gemuruh bersahutan mengiringi langkah keduanya dalam diam dan gerimis pun ikut serta penuh kebimbangan. Raka
sadar
wanita disampingnya kecewa tapi dia masih belum bisa menghapus sakit atas
kehilangan itu.
Bukan
perkara mudah mengatur sedemikian banyak orang, lain hal dengan menggiring
bebek, hanya dengan komando “Hushh, Hushh!” mereka sudah mengerti apa yang
harus mereka lakukan, masuk kandang misalnya. Sedangkan, nge-handle kelompok manusia begini susahnya naudzubillah, terlebih
anak-anak. Tapi untunglah, dia selalu ada meringankan segalanya.
“Nggak
usah dipaksain, istirahat aja dulu. Biarin yang lain nyelesein tugasnya,”
nadanya lembut, mampu mengusir letih tubunya. “Nih, minum.” Ia menyodorkan
sebotol minuman pengganti ion tubuh.
“Thanks, ya.” dengan sekali
nafas Raka menghabiskan isi botol tersebut.
Cahaya
senja mampu membiaskan kilau-kilau kristal bening yang kian bercucuran
mengguratkan garis tegas di wajahnya. Letih tergambar jelas disana.
“Capek
banget, ya?” Ia dengan tampang polosnya. Raka hanya mendelik sesaat lalu kembali
dengan sisa botol minumnya. Waktu-waktu
seperti inilah yang membuat Winda enggan beranjak dari duduknya. Sembari
memeluk kedua lututnya, seksama Winda memperhatikan setiap pola laki-lakinya,
menggemaskan. Ia tersenyum geli dibuatnya.
Hari terakhir persiapan tour tahunan tempat mereka bekerja hampir rampung dikerjakan tim kepanitiaan bentukan Raka. Sebagai ketua, ia bertanggungjawab penuh atas kesuksesan acara tersebut, terlebih soal keselamatan peserta tour beserta anggota tim, dan itu bukanlah hal sepele. Raka sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Raka tidak pernah menganggap jabatan ketua sebagai beban, melainkan ajang latihannya menjadi seorang kepala rumah tangga kelak. Laki-laki wajib memiliki itu, bukan?
Hari terakhir persiapan tour tahunan tempat mereka bekerja hampir rampung dikerjakan tim kepanitiaan bentukan Raka. Sebagai ketua, ia bertanggungjawab penuh atas kesuksesan acara tersebut, terlebih soal keselamatan peserta tour beserta anggota tim, dan itu bukanlah hal sepele. Raka sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Raka tidak pernah menganggap jabatan ketua sebagai beban, melainkan ajang latihannya menjadi seorang kepala rumah tangga kelak. Laki-laki wajib memiliki itu, bukan?
Jarum
jam sudah menunjuk pukul 22.30 malam. Namun, persiapan tersebut belum
sepenuhnya rampung. Melihat semangat kerja anggota tim, Raka memutuskan untuk
membubarkan anggotanya agar kembali ke rumah masing-masing.
“Guys, cukup untuk hari ini. Otsukare samadeshita.”1
Setelah
mengantar Winda pulang, Raka sengaja kembali untuk menyelesaikan semuanya,
sendirian, sehingga hari H besok timnya sudah tinggal menyiapkan keberangkatan
saja. Bersenang senang, itu tujuan utamanya.
***
“Sebelum berangkat, mari kita
berdo’a demi keselamatan masing-masing,” perintahnya,
“berdo’a, mulai.”
Raka
masih dengan kepemimpinanya, sigap mengatur segalanya. Sibuk? Pasti. Yang tidak ia ketahui bahwa
ada sepasang mata lain mengawasinya seperti elang terhadap mangsanya. Detail
Winda memperhatikan setiap gerak-geriknya, dari caranya bicara, ketegasanya
dalam memerintah, kebijakanya saat mengambil keputusan, keramahanya saat
melayani peserta tour, terlebih anak-anak
kecil calon anak-anak mereka kelak. Winda mengamini itu. Raka selalu memprioritaskan anak-anak karena ia
suka anak-anak (Eh, maksudnya bukan
pedofil, ya :3, menurutnya, anak-anak adalah sebentuk kesempurnaan dari
kebahagiaan setiap pasang manusia sehingga harus dijaga dan disayangi, begitu
katanya.) Tidak heran jika anak-anak lebih cepat akrab dengannya, aura
wajahnya seolah menawarkan kebahagiaan bagi anak-anak, tak terkecuali, Winda. Sesekali
pasang mata itu tersenyum melihat tingkahnya. Yap! Winda dengan sejuta
kekagumannya terhadap Raka, sang pangeran pujaan. Kenyataanya, Raka tidak tau
itu. Belum.
“Yakali
senyum-senyum sendiri gitu. ‘Sejak kapan’, mbak?’ Ayu membuyarkan
konsentrasinya.
“Heh,
maksudnya?”
“Ciye..., Itu pipi apa udang rebus. Disambelin
enak kali. Hhi...,” Lagi, Ayu dengan tingkah jahilnya. Menunjuk-nunjuk pipinya yang merona.
“Apaan,
sih. Huh!” Winda mendengus kesal.
“Lagian
ngapain coba dilamunin terus gitu. Kalo suka bilang, dong. Atau...,”
“Atau
apa?”
“Atau,
si Kakang prabumu itu, aku embat. Hha...,”
“Langkahi
dulu mayatku, kisanak!”
“Wih,
serem. Takut. Kabur, kabur...,” mereka lalu melenggang meninggalkan
lamunan kosong beranjak
menjemput kenyataan menemukan sang pangeran pujaan.
Bentar,
bentar. Mereka? Bukan. Maksudnya, Winda.
***
Jogja, mendapat giliran tahun ini. Kota dengan
sejuta pesona. Selain keindahan alamnya, keramah-tamahan penduduknya pun
seringkali menjadi puji wisatawan domestik maupun asing saat berkunjung kesana.
Jamuan ala keraton kerajaan sudah menjadi tradisi masyarakatnya saat menyambut
tamu istimewa, atau dalam hal ini wisatawan seperti mereka sekarang.
Kurang
lebih enam hingga delapan jam perjalanan menuju Jogja. Waktu yang cukup untuk membentuk
pantatmu menjadi six-pack. Emang
perut aja yang bisa gitu?
Awal-awal
perjalanan dimulai, Raka masih sibuk mengatur kebutuhan peserta tour, tentunya dengan dibantu Winda.
Walau bukan sebagai anggota kepaitiaaan, Winda dengan ‘sukararela’ melakukanya.
Asal..., sama Raka. Cinta selalu punya alasan bahkan untuk hal yang tak beralasan sekalipun.
“Fyuhhh, akhirnya selesai juga, ya, Ka.” katanya sembari
menenggak tupperwarenya.
“Berkat
kamu juga. Thanks, ya.” senyumnya
membuat Winda tersedak.
“I..,
iya, Ka. Sama-sama.” lagi-lagi
pipinya bak udang rebus.
Entah
seberapa jauh perjalanan menuju Jogja, yang jelas hari mulai redup, senja pun
sudah kembali keperaduan berganti malam dengan hias bintang-bintang pun sorot
lampu-lampu jalan ikut meramaikan suasana malam diluaran sana dimana Winda dan
Raka duduk beriringan menikmati pemandangan indah itu berdua.
Keakraban
yang terjalin antara keduanya, sanggup mengalirkan getaran-getaran aneh
menjalari seluruh tubuh. Tidak menyengat memang, namun menggelikan. Demikian
kiranya yang Winda rasakan saat ini. Medapat kesempatan langka duduk sebangku dalam bus dengan
pangeran pujaan. Jika saja Raka tau bagaimana perasaan wanita disebelahnya saat
ini, mungkin dia akan terkejut, pasalnya hatinya kini banyak sekali
letupan-letupan kembang api, meriah, gembira, bak pesta.
***
Temaram lampu hias jalanan malioboro, menggambarkan
kesan romantisme diantara keduanya. Sesekali Raka membuatnya tergelak penuh
tawa karena kekonyolan yang dibuatnya, seperti berpura-pura mencari bapaknya
persis pemeran SHIT-netron televisi yang akhir-akhir ini sedang ramai
dibicarakan, “Bapa mana, bapa mana, bapa…,”
lengkap dengan tampang bodohnya.
“Sudah-sudah. Perutku sakit ini. Laper. Makan, yuk!”
katanya setelah selesai dengan tawanya, “Tapi, kamu yang teraktik. Soalnya kamu
yang bikin aku sakit perut sampe kelaperan gini,” belum juga Raka meng-iya-kan,
ditariknya paksa lengan Raka menuju salah satu warung makan lesehan.
Setelah memesan beberapa menu favorit masing-masing
lengkap dengan es teh manis dan satu kopi jos untuk Raka. Sembari menunggu
pesanan datang, dibawah remang lampu jalanan, ditambah riuhnya suasana
malioboro, keduanya kembali tenggelam dalam perbincangan yang sedemikian heboh,
dari mulai perjalanan kemari, persiapanya, kadang mellow karena curhat colongan yang sesekali Winda tanpa sadar membahasnya,
soal hobi, pengalaman bersama teman-temannya, serta banyak hal yang membuat
jalinan keakraban diantara mereka tak lagi berjarak. Kini giliran Raka yang
baru saja sadar, bahwa wanita didepannya lah yang selama ini mengubah hidupnya
menemukan kembali keping-keping kebahagiaan yang sempat berserakan oleh garis
takdir yang begitu keras menerjang, dari kesedihan yang sedemikian dalam hingga
mampu bangkit dan menemukan senyumnya yang sempat hilang.
“Hei, ngapain ngaduk-ngaduk
kopi mulu. Dengerin aku ngomong nggak, sih?!” dengus Winda. Kesal.
“Eh? I, iya. Aku denger kok,” Raka gelagapan. Hampir
tumpah gelas kopi di depannya untung Raka lebih cekatan menangkapnya.
“Denger apa coba?”
“Ya…, itu, yang kamu omongin tadi,”
“Itu apa?!” Winda masih dengan kekesalannya. “Yang jelas dong kalo ngomong,”
“I, iya deh, maaf.”
“Nah, gitu dong. Bilang aja kalo nggak dengerin aku
tadi. Jujur susah amat. Huh!” Winda memiringkan bibirnya, kesal. Namun tidak
dengan rautnya. Ia tidak pandai menyembunyikan ekspresi. Ia senang alasan
lamunan itu adalah dirinya. Tapi kesal tetap ada. Wanita ~
Selesai menyantap pesanan, keduanya lalu beranjak
kearah kerumunan, mencari beberapa souvenir
khas Jogja untuk sekadar oleh-oleh wisata bagi sanak keluarga dirumah. Sebelum
pulang mereka sempat membeli kaos bergambar sama bertuliskan “Jogja. I’m fallin’ in Love”
Benar.
Cinta itu susah dimengerti. Persis seperti kopi jos yang dipesan Raka. Kenapa
juga kopi dikasih arang, bukan gula?
***
Raka jelas mengenalnya, tak mungkin ia lupa kepada
seseorang yang sedemikian lama mengindahkan harinya, menyenangkan hatinya,
mengusir letihnya, pun juga membahagiakan hidupnya. Yap! Dialah sang kekasih
yang kini tengah berpulang ke surga. Tapi tunggu. Apa yang dia lakukan disana,
sendirian pula. Bukannya dia
seharusnya…, ah sudahlah. Tanpa ba-bi-bu, Raka tergesah menghampirinya,
“Hei,”
Dia tak menoleh
sekalipun.
“Ngapain kamu disini?”
Dia tetap dengan pendiriannya.
“Jangan-jangan kamu sengaja nungguin aku pulang, iya,
kan?”
Masih tak ada jawaban. Bisu.
“Ok cukup!”
Raka akhirnya menarik paksa wanita itu agar menghadapnya, menjawab
pertanyaanya. Namun apa yang dilihatnya kini tak seperti Raka inginkan. Ia
pucat, pandanganya kosong, tak berkedip. Beberapa kali Raka menggoyangkan
tubuhnya agar supaya wanitanya itu mau merespon. “Bicaralah, sayang.”
Sedetik kemudian, wanita itu menggerakkan wajahnya, berkedip,
dan tersenyum. Lalu mengangkat lengannya
menunjuk sesuatu yang jauh. Raka
mengikuti arah telunjuknya mengarah. Ia melihat sekilas, seseorang yang juga
berdiri sendirian seperti menunggu seseorang lain datang, diujung sana, jauh, samar,
kabut tebal menghalangi pandangannya.
Wanita itu mendekatkan bibirnya lekat ke arah telinga
sebelah kanan Raka. “Berbahagialah sayang, aku rela.” nadanya lirih hampir
tidak terdengar.
“Hah?” antara percaya dan tidak dengan apa yang dia
dengar dari wanitanya barusan. Akan tetapi belum juga mendapat jawaban atas
maksud pernyataanya tersebut. Wanita itu sudah lebih dulu lenyap dari
hadapanya, bahkan Raka belum sempat mengenggam tanganya, memeluknya apalagi.
“Ka, bangun, Ka. Sudah sampai. Ayo turun.”
“Hemmm, iya, hemmm…,”
“Ka, ayo!” Winda sudah siap dengan tas bawaaan serta
oleh-oleh ditangannya. Siap turun.
Raka mendelik, mengerjapkan mata beberapa kali,
mengusapnya, “Jangan pergi, De!” katanya tiba-tiba.
Winda mengernyitkan alis. “Ya, mau turun lah, kemana
lagi emang? Ayo!”
***
“Ka, tunggu. Jangan pulang dulu. Aku mau ngomong
sesuatu.” katanya menahan Raka.
“Ada apa?”
“Udah kamu duduk dulu sini,” Winda menggandeng lengannya
kembali memasuki pagar lalu menyuruhnya duduk di kursi teras depan rumah.
“Mau ngomong apa?”
Winda diam beberapa saat memastikan keadaan. “Tadi
kamu sempat memanggilku dengan sebutan ‘De’. Maksudnya apa?”
“Hah, kapan?” Raka polos.
“Tadi, sewaktu kita hendak turun dari bus. Waktu kamu
tidur…,”
“Oh, ehmmm…,” Raka menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. Berusaha mengingat sesuatu. “Ah!” sepertinya dia ingat sesuatu itu.
“Jadi?” Winda dengan nada antusias. Sialnya Winda
tidak sadar itu.
“Ah, aku haus. Minta minum, boleh?” –ekspesi kucing
minta minum-.
*gubrak!
Tentu saja Winda kesal dengan tingkahnya. Tapi Winda
masih punya sedikit kesabaran atas jawaban yang dia inginkan itu. “Tunggu
bentar,” katanya agak bête. Lalu masuk ke dapur dan kembali dengan segelas air
putih beserta sepiring kue kering untuk camilan. Sengaja, setidaknya itu bisa
menahan Raka pergi sebelum menjawabnya.
“Jadi?” Winda mengulang pertanyaanya. Mengharap
jawaban.
“Jadi…,” Raka menghentikan aktivitas meminumnya, menaruhnya,
lalu beralih menggenggam pergelangan tangan kanan Winda, lembut. Dipandangnya
Winda lekat-lekat, seolah menembus hingga jantung, Winda pun keringat dingin
atas perlakuannya itu.
“Kamu tau? Apa yang membuatku terus bertahan dengan
perasaanku atas dirinya meski telah terpisah. Ehm, maksudku, terpisah karena
memang Tuhan lah yang memanggilnya pulang. Karena aku mencintainya, sangat
mencintainya. Namun setelah kepergiannya itu, aku tau, life must go on, right?”
“Terus?” semakin tajam Raka menghujam perasaan Winda.
Campur aduk, tidak keruan.
“Sampai
akhirnya aku sadar ada kamu yang perlahan mengubah hidupku, mengulurkan tangan,
menuntunku untuk tak terus dalam keterpurukan, memapah agar bangkit hingga
sekarang. Menemukan kembali senyumku yang pernah hilang.” Raka menghentikan
kalimatnya sesaat. Digenggamnya lebih erat tangan Winda. “Aku sadar, aku
mencintaimu. Win.”
Jika saja Winda mampu berteriak, maka ia akan sekencangnya
mengurai kebahagiaan itu. Betapa tidak, pangeran yang didambanya sejak pertemuan
pertama itu, kini seutuhnya menjadi miliknya. Rasanya pesta kembang api dimalam
tahun baru pun kalah meriah dibanding suasana hatinya saat ini. Bibirnya kelu
untuk sekadar mengatakan “Ya”, wajahnya merah seperti udah rebus, disausin,
saus asam pedas, siap santap.
Ketika pada akhirnya ketulusan Winda jugalah yang
menyadarkan betapa besar pengorbanannya untuk Raka. Memapah dengan sabar,
menyadarkan bahwa tak baik terus terpuruk dalam sakitnya ditinggalkan, meski
oleh takdir. Karena hidup harus tetap berjalan maju bukan mengenang masa lalu. Kebahagiaan
itu bukan untuk dikenang tapi untuk dinikmati. Karena kesempatan yang sama
tidak datang dua kali, maka nikmatilah selagi bisa. Percayalah setiap
pengorbanan takkan pernah mengecewakan, bukan?
Alam seolah merestui, menghapus hujan badai semalaman
dan menggantinya dengan pelangi saat pagi menjelang. Seperti Raka yang mampu
bangkit dari keterpurukannya, menata kembali hidupnya bersama dia yang lain.
Winda.
###
Note :
Terimakasih atas kerjasamanya1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu, sesederhana itu saya sudah merasa dihargai.
Terimakasih :)