Sahabat Blogger

Senin, 07 Juli 2014

Waktu, ijinkan aku untuk...

Warnai hidupmu... sendiri :|
“Udah sikat aja bro, disamber orang ntar nyesel loh,”

“Nggak semudah itu bro,”

“Ah, lu nya aja yang cemen,” katanya enteng.

“Jangan nyesel ya, kalo doi gue gebet. Haha...” pungkasnya ngeselin.

Percakapan sore itu, gue merasa seperti seorang pecundang yang bahkan menolong diri sendiri pun tidak mampu apalagi menolong orang lain.

‘BAKA! BAKA! BAKAYARO!!!’ gerutu gue dalam hati.

“Eh? Kenapa lu bro? Sakit?”

*** 

Perkenalan kami bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang sudah Tuhan gariskan, gue percaya itu. Entahlah, mungkin gue terlalu menyakini hal tersebut atau memang sebuah obsesi berlebih terhadap dirinya?

Namanya Ririn, orangnya supel, pandai bergaul, pinter, terlihat saat dia mulai berdiskusi mengenai apa saja dalam komunitas kami, berhijab, matanya sipit, yang terpenting senyumnya manis, semanis kurma azwa. Beberapa hal tersebut yang memicu perasaan gue terhadap sosoknya. Kekaguman yang semakin hari semakin aneh rasanya, semacam nikotin pada rokok yang membuat ketergantungan. Ya! gue jatuh cinta. Geli, bukan?

Gue sendiri kadang tidak terlalu paham dengan apa yang gue rasain saat berada di dekatnya, apalagi ketika terlibat conversation mengenai dirinya, saat-saat tersebutlah yang membuat gue selalu merasa dipencundangi diri sendiri karena ada saja hal yang membuat gue salah tingkah bahkan konyol. Terkadang hanya karena ingin melihatnya tersenyum, gue rela dianggap bodoh sekalipun.

Pertemuan kami berikutnya membuat kami terlihat sangat akrab, canda-tawa seringkali mengiringi waktu yang kami habiskan bersama. Yah... meskipun kebersamaan kami bukan hanya antara gue dan dia, sih, tapi bersama dengan teman-teman lainnya juga.

Gue dan dia memang tergabung dalam sebuah komunitas multicultural, jadi tidak heran jika gue dan dia semakin dekat adanya, atau mungkin kelihatanya aja, sih, gitu.

Pernah satu ketika, disebuah warung tenda tempat biasa kami gathering komunitas, antara gue dan dia sedang asyik-asyiknya berfoto ria, tentunya bersama dengan yang lain juga, sih.

Ada satu moment dimana gue hanya berdua dengannya berpose lumayan dekat hampir rapat malah, hanya beberapa detik memang, tapi bahagia yang gue rasakan seperti berabad lamanya. Harum tubuhnya menyeruak hingga paru-paru, nampak jelas parasnya yang ayu, senyumnya yang semanis kurma azwa, membuatku seolah melayang terbawa angan yang teramat indah ku bayangkan.

“Maaf, mas. Jangan duduk diatas meja, ya, nanti patah.” tegur mbak-mbak penjaga warung membuyarkan lamunan indah itu.

“Eh? i... iya, Mbak, maaf.” gue tengsin. Lebih tengsin lagi ketika tau dia juga nampak menyembunyikan tawa geli terhadap kejadian itu.

‘Oh... God! Ambil nyawa gue, AMBIL!’

***

Gue paling males kalo sudah di cie-cie-in sama yang lain, 

“Kalian ini apaan, sih! Norak tauk!” sungut gue kesal.

“Yaelah, bro. Gausah sewot gitu juga kali,”

“Iya bener tuh. Wuhhh...” celetuk yang lain.

“Lagian kalo emang lo biasa aja sama dia, ngapain juga lo sewot? Ah, dasar anak muda...”

Ada benarnya juga sih, kenapa juga gue kesel setiap ada yang godain keakraban kami. Bukannya kita cuma teman biasa, nggak lebih?

Sore itu seusai ngumpul, dia hendak pulang, akan tetapi jemputannya tak kunjung datang. Biasanya, setelah ngumpul seperti sekarang, dia selalu dijemput sopirnya. Tapi tidak dengan hari ini,

“Kesempatan emas nih, bro!” senggolnya ke gue.

“Maksud lo?”

“Gue heran, kenapa gue mau temenan sama orang se-idiot lo gini?”

“Serius nih gue, maksud lo apaan?”

“Lo liat dia didepan sana, kan?” tunjuk temen gue.

“Iya, terus?”

“Katanya lo suka sama dia. Sekarang lo samperin dia, ajak dia pulang bareng.”

“Njirrr! Gila lo. Nggak ah. Nggak berani gue,”

“Ah, emang lo itu pada dasarnya cemen, yah, cemen aja.” ledeknya.

“Eits, ati-ati bro kalo ngomong, gue nggak separah itu juga keleus!”

“Buktiin ke gue kalo lo gantle. Samperin dia!” agak kasar tangannya menghadapkan paksa kepala gue ke arahnya.

Demi sebuah pengakuan kalo gue bukan seorang pengecut seperti yang temen gue katakan. Akhirnya dengan segumpal keberanian, gue beranjak menghampirinya.

“Hei, belum pulang?” gue basa-basi.

Dia hanya menggelengkan kepala, Ia masih sibuk dengan gadgetnya.

“Tumben, biasanya jemputannya on time, kenapa sekarang ngaret, ya?” gue masih berusaha mendapatkan perhatiannya.

Belum ada patah kata darinya, hanya raut wajahnya saja yang berubah muram.

“Kalo nggak keberatan, biar aku anter, gimana? Mau?” gue mulai agresif.

“Eh, kamu. Maaf aku pikir siapa?” katanya kemudian setelah selesai dengan gadgetnya.

‘Emang kamu pikir siapa, hah!’ setelah beberapa kalimat sok akrab tadi, dia baru tanya gue siapa? Emang gue siapa, ya? *facepalm *free puk puk

”Iya, ini aku, Danny.”

“Ah, iya sorry, Dan, tadi lagi SMS soalnya,”

“Jadi kamu mau aku anterin atau gimana?” tawar gue lagi.

“Maaf, Dan, makasih. Bentar lagi juga dateng kok,”

“Oh, gitu. Ya udah, aku bantu temenin kamu disini sampe jemputannya dateng, ya,”

“Boleh aja. Emang kamu nggak pulang?”

“Rumahku deket sini kok, santai aja,”

“Bagus deh,” jawabnya singkat.

Beberapa saat setelahnya hanya hembusan angin yang terdengar begitu nyaring, hening...

‘Nggak nyangka ya, kita bisa sedekat ini. Mungkin nggak, sih, kalo kita bisa lebih dekat lagi, jadian misalnya. Hehe... Kamu tau nggak, aku selalu berharap moment-moment seperti ini, berdua dengan bidadari secantik kamu, foto bareng, main bareng, ketawa bareng. Ah, sudahlah, gue terlalu muluk soal itu. Sederhananya, gue berharap waktu tidak berlalu secepat itu.’ gue membatin.

TIN! TIN!!! Suara klakson menarikku kembali dalam kenyataan.

Seseorang dengan kuda besinya menyapaku dari balik helm fullfacenya itu, lebih tepatnya menjemput Ririn.

“Aku duluan ya, Dan. Sankyu udah nemenin!” katanya sedikit berteriak.

Ya! Dia tengah berlalu dengan seseorang yang entah siapa. Hingga gue tak sadar, gue mencoba membalas lambaian tangannya meskipun getir. Gue masih berharap, semua ini hanya mimpi, MIMPI BURUK!
###

Ja matta na...

8 komentar:

  1. Hah? Sankyu sih apaan?
    Keren bro, lanjutkan tuh karyanya. Asyik gaya berceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah iya makasih bro.
      sankyu = thank you dlm bahasa jepang. heheh

      Hapus
  2. Wah! lanjutkan bro! gua yakin pasti dapet :)
    gua setuju sama kalimat "Terkadang hanya karena ingin melihatnya tersenyum, gue rela dianggap bodoh sekalipun" :)

    BalasHapus
  3. ceritanya menarik sekali,,tetap semangat,kan cinta itu perlu di perjuangkan :)

    BalasHapus

Tinggalkan jejakmu, sesederhana itu saya sudah merasa dihargai.
Terimakasih :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...