Sahabat Blogger

Senin, 30 Juni 2014

When ICU again




Dari balik jendela, hujan masih dengan tangisnya. Deras membungkam setiap kalimat yang hendak aku sampaikan, tidak jauh berbeda dengannya.

“Dan, maukah kamu simpan ini untukku?” katanya lirih, membuka bisu diantara kita.

 Diberikannya sebuah bingkis kado dengan ikat pita merah jambu, "Berjanjilah, kamu takkan membukanya hingga kamu benar-benar merindukanku kelak." pungkasnya. 

Rasanya ingin memeluk raga itu. Seorang yang sebentar lagi akan pergi, dengan atau tanpa persetujuan dariku.

“Aku akan menyimpannya untukmu, Rin. Jaga dirimu baik-baik.”  hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku, perih. 

*** 

Hari ini sibuk luar biasa. Kalau sudah akhir tahun begini pasti kerjaan numpuk naudzubillah. Seperti sudah menjadi kebiasaan atau mungkin ini adalah kutukan? 

Rasanya semakin perih mataku menatap layar komputer hampir seharian penuh. Hanya sesekali pergi ke toilet untuk cuci muka atau sekadar mampir ke ruang pantry untuk menambah cangkir kopi yang sedari pagi terus saja dijejalkan kedalam perut sebagai dopping. Overdosis mungkin saja terjadi mengingat porsi berlebih

“Sudah jam segini masih belum pulang juga, Mas?” Pak Abu, satpam kantor yang kebetulan sedang keliling.

“Biasa Pak, akhir tahun, kerjaan numpuk. Ini aja masih banyak yang belum selesai,” sahutku lemah.

“Mbok, yo besok lagi dikerjainya, Mas. Sudah tengah malem loh ini,

       “Pengennya sih gitu, Pak. Tapi mau gimana lagi, sudah tuntutan. Kalo nggak selesai hari ini, tau sendiri kan, Pak, si Bos gimana?”

“Bener juga sih, Mas. Hehe…”

“Ya sudah, silahkan dilanjutin lagi, maaf sudah menggangu. Bapak mau muter dulu.”

“Siap, Bos!”      
                                              
 Ku lirik jam disudut kanan bawah layar komputerku, benar saja, sudah tengah malam rupanya dan belum setengahnya aku kerjakan, entah sampai kapan mau selesai...

***  

Disebuah ruang kelas sekolah menengah atas, terlihat beberapa anak mondar-mandir tidak keruan, ada juga dua anak murid laki-laki yang mencoba menggoda teman perempuannya. Hebatnya, semua berubah ketika terdengar derap langkah kaki mendekat kearah kelas tersebut.  
    
“Selamat pagi, Bu…!!!” kompak semuanya menyambut sang guru tercinta.

          “Pagi…”

         “Baiklah anak-anak. Sebelum pelajaran hari ini dimulai, kita kedatangan teman baru yang akan menghuni kelas kita mulai hari ini,” matanya melirik ke arah pintu.

“Silahkan masuk, Nak.” lanjutnya.

          Begitu sepasang kaki mulai beranjak masuk kedalam kelas. Nampak seorang gadis belia dengan sejuta pesona dibalik senyumnya yang luar biasa manis, rambut hitam panjang tergerai indah, harum bunga menghipnotis puluhan pasang mata didepannya, semua diam tak bergerak. Hening...

          Silahkan perkenalkan diri kamu,” perintah Bu Widya.

Semua masih menunggunya membuka suara. Matanya sayu, sesaat Ia edarkan pandangannya kearah kelas, dimana semua mata tertuju pada satu titik, Dia. Dengan satu kali nafas panjang, dia pun mulai membuka suara,

          “Pagi semua… Perkanalkan, aku Ririn Rinjani. Kalian boleh panggil aku Ririn. Hobbyku melukis, aku juga suka sekali musik. Salam kenal semua…”

   Riuhnya pecah sedetik setelah dia menutup kalimatnya. Terutama cowok-cowok yang nampak begitu antusias, saling berpandangan, berdengung seperti lebah dimusim kawin.

“Ok, ok, mohon tenang dulu!” beberapa kali Bu Widya mengetukkan spidol diatas mejanya, mengharap perhatian. 

“Baiklah, Rin. Terimakasih sudah mengenalkan diri,

“Sekarang siapa yang mau bertanya sama Ririn. Ibu persilahkan. Tapi ingat, jangan rebutan. Tunjuk tangan dulu sebelum bertanya.” katanya kemudian.

Ririn hanya tersenyum melihat respon teman-teman barunya itu.

“Saya, Bu!” tunjuk seorang cowok gembul berambut acak.

“Ya, kamu, Adit.”

“Langsung aja ya. Hehe…” Dia mulai cengengesan mencurigakan.

“Jadi, kamu suka melukis, ya?”

Ririn mengangguk.

“Ehmmm… kamu udah punya pacar belum?”

“Wuuu…!!!”  seisi kelas menyoraki si gembul slengean itu. Pertanyaanya ngawur.

Lagi, Ririn menanggapinya dengan senyum.

“Ada lagi?” Bu Widya memastikan.

“Ya, kamu.” tunjuknya kepada seorang cowok kacamata sebelah jendela.
Dia pun berdiri, menunjukkan sesuatu, “Kamu suka melukis, bukan? Ini representasi kamu. Gimana menurutmu?” 

Ririn tersipu ketika melihat cerminan sosoknya digambar itu, begitu cantik dan lucunya dengan balutan busana ala peri tingkerbell dengan sayap kecilnya

 “Aku suka. Terimakasih…” Ririn belum tau namanya.

Dia melangkah maju dan langsung menjabat tangan Ririn, “Danny.” katanya mantap.

“Terimakasih... Danny.tangannya gemetar, pipinya merona menahan malu sekaligus senang.

Ok, cukup,”

Danny, silahkan kembali ke tempat dudukmu.” Bu Widya mengambil alih.

Danny mengundurkan diri dan kembali ke tempat duduknya semula.

“Ririn, silahkan ambil tempat duduk disamping Senny. Disana kosong.” Bu Widya mempersilahkan.

Senny tidak kalah antusias menyambut kawan barunya itu, sampai-sampai dia sendiri yang menjemputnya kedepan kelas.

“Terimakasih kepada kalian semua atas sambutannya. Ibu rasa perkenalan hari ini cukup, semoga dengan adanya Ririn, teman baru kita. Kalian bisa lebih semangat lagi belajarnya, senyumnya licik.

Kita mulai saja pelajaran hari ini. Silahkan kalian siapkan kertas satu lembar, tulis nama dan nomor absen kalian. Hari ini kita ulangan.”

Salah satu sifat Bu Widya yang paling tidak disukai anak-anak. Sering mengadakan ulangan dadakan, bahkan setelah acara penyambutan barusan.

*** 

Ririn Rinjani, indah ya namanya? Seorang gadis belia yang dua tahun belakangan selalu mengganggu tidur malamku. 

Adalah seorang siswi pindahan. Menurutnya, dia lebih suka tinggal dalam satu kota dan menetap disana. Menjalin hubungan sosial sebagaimana gadis belia lainnya, tapi mau bagaimana, ini sudah tuntutan dinas ayahnya yang selalu dipindah tugaskan setiap periodenya. Ayahnya seorang abdi Negara, seorang yang rela mati demi kecintaanya terhadap tanah air. Hal tersebutlah yang juga menuntut Ririn untuk terbiasa beradaptasi dengan lingkungan baru.

          Aku mulai dekat dengannya ketika tau rumahnya hanya beda beberapa blok dari tempat tinggalku. Mulai saat itu, aku dan dia seringkali pulang bersama.

          Tidak jarang aku harus setia menungguinya selesai latihan ekstrakulikuler disekolah hingga sore, padahal biasanya aku paling malas menunggu apalagi harus berjam-jam seperti itu. Tapi entahlah, semacam ada keyakinan bahwa aku harus memastikan dia sampai rumah dengan selamat.


***

          Tumbuh pohon beringin besar disudut lapangan upacara, tempatnya rindang, sangat nyaman untuk sekadar berteduh atau berkumpul sembari bersenda gurau. Tempat favorit Ririn menghabiskan waktunya seusai latihan ekstrakulikuler atau melukis sesuatu disana. Biasanya Ia akan mulai menggoreskan pena, membentuk sesuatu menurut imajinasinya, apapun itu.

Rin, belum mau pulang?” sapaku sembari menyodorkan jus jeruk kesukaannya.

“Nanti, ah. Aku mau selesein ini dulu,” 

“Tuh lihat, kayaknya udah mau hujan. Mendingan kita pulang deh. Ayo!”

“Sepuluh menit lagi, please…

“Ah, kamu ini. Kebiasaan,sungutku agak kesal. Kemudian bodohnya aku malah ikut duduk disampingnya, memperhatikan setiap tingkahnya yang pada akhirnya aku akan senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
 
 Aku tau, kejadian seperti ini tidak akan berlangsung lama, karena ketika dia mulai mengikuti ayahnya untuk pindah. Maka besar kemungkinan akan jarang bertemu lagi dengannya atau bahkan tidak akan pernah bertemu sama sekali. Entahlah… aku sih berharap waktu tak berputar secepat itu. Aku membatin.

 “Ayo, pulang!”  tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku yang sempat melamun, gelagapan menaggapi responya yang mendadak. Tidak peduli dengan sikapku, dia terus saja menarik lenganku. ‘Dasar, peri kucil menyebalkan.’
 
BRUMMM!!      

“Pegangan!” sengajaku geber gas motor biar pegangannya semakin erat.

 “Ih... jangan kenceng-kenceng dong,” Dia ketakutan.

          Hujan turun tanpa aba-aba. Aku pinggirkan kuda besiku diemperan toko. Tubuh kecilnya menggigil kedinginan diterpa hujan. Refleks, aku menyelimutinya dengan jaket merah kesayanganku. “Thanks,” katanya lembut. Tatapan matanya sayu, seolah mengisyaratkan bahwa dia ingin aku menjaganya dan terus ada disampingnya. Ku balas tatapanya dengan senyum penuh arti.

          Lama kami saling beradu pandang, tak kami sadari, sudah tidak ada lagi jarak antara kami, semakin dekat saja wajahku ke wajahnya hingga deru nafasnya pun bisa aku rasakan hangatnya. Dia butuh kehangatan, itu yang aku tangkap. Sebagai remaja yang sedang mengalami masa purber, secara naluri bibirku dan bibirnya…

“Mas, mas, bangun, mas, sudah subuh.” Pak Abu membangukan.

“RIRIN!”

“Ini saya, Pak Abu, Mas. Bukan Ririn,katanya menahan tawa.

“Eh? Bapak? Maaf,  Pak.” Aku kerjapkan mata beberapa kali, memastikan situasi.

“Tadi saya lihat, Mas Danny ketiduran dimeja. Jadi saya bangunin, sudah adzan subuh. Lebih baik Mas, cuci muka dulu terus sholat subuh bareng bapak dimusholah.”

“Baik, Pak. Makasih sudah membangunkan.” canggung karena sempat menyangkannya Ririn.

Ketika hendak bergegas menyusul Pak Abu ke mushollah, screen laptop tidak sengaja menampilkan potretnya, kenangan itu menyapaku kembali. Aku merindukannya...
###



#RegasGa


2 komentar:

Tinggalkan jejakmu, sesederhana itu saya sudah merasa dihargai.
Terimakasih :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...