Dari
balik jendela, hujan masih dengan tangisnya. Deras membungkam setiap kalimat
yang hendak aku sampaikan, tidak jauh berbeda dengannya.
“Dan, maukah kamu simpan ini untukku?” katanya lirih,
membuka bisu diantara kita.
Diberikannya
sebuah bingkis kado dengan ikat pita merah jambu, "Berjanjilah, kamu takkan membukanya hingga kamu benar-benar merindukanku kelak." pungkasnya.
Rasanya ingin memeluk raga itu. Seorang yang sebentar
lagi akan pergi, dengan atau tanpa persetujuan dariku.
“Aku akan menyimpannya untukmu, Rin. Jaga dirimu
baik-baik.” hanya kalimat itu yang mampu
keluar dari mulutku, perih.
***
Hari ini sibuk luar biasa. Kalau
sudah akhir tahun begini pasti kerjaan numpuk naudzubillah. Seperti sudah menjadi kebiasaan atau mungkin ini adalah kutukan?
Rasanya
semakin perih mataku menatap layar komputer hampir seharian penuh. Hanya
sesekali pergi ke toilet untuk cuci muka atau sekadar mampir ke ruang pantry untuk
menambah cangkir kopi yang sedari pagi terus saja dijejalkan kedalam perut
sebagai dopping.
Overdosis mungkin saja terjadi mengingat porsi berlebih.
“Sudah
jam segini masih belum pulang juga, Mas?”
Pak Abu, satpam kantor yang kebetulan sedang keliling.
“Biasa
Pak, akhir tahun, kerjaan
numpuk. Ini aja masih banyak yang belum selesai,” sahutku lemah.
“Mbok,
yo besok lagi dikerjainya, Mas.
Sudah tengah malem loh ini,”
“Pengennya sih gitu, Pak. Tapi mau gimana
lagi, sudah tuntutan. Kalo nggak selesai hari ini, tau sendiri kan, Pak, si Bos gimana?”
“Bener
juga sih, Mas.
Hehe…”
“Ya sudah, silahkan
dilanjutin lagi, maaf
sudah menggangu.
Bapak mau muter dulu.”
“Siap,
Bos!”
Ku lirik jam disudut kanan bawah layar
komputerku, benar saja, sudah tengah malam rupanya dan belum setengahnya
aku kerjakan, entah
sampai kapan mau selesai...
***
Disebuah ruang kelas
sekolah menengah atas, terlihat beberapa anak mondar-mandir tidak keruan, ada juga dua anak murid laki-laki
yang mencoba menggoda
teman perempuannya. Hebatnya,
semua berubah ketika terdengar derap
langkah kaki mendekat kearah kelas tersebut.
“Selamat
pagi, Bu…!!!” kompak semuanya menyambut sang guru tercinta.
“Pagi…”
“Baiklah
anak-anak. Sebelum pelajaran hari ini dimulai, kita kedatangan teman baru yang
akan menghuni kelas kita mulai hari ini,” matanya melirik ke arah
pintu.
“Silahkan
masuk, Nak.” lanjutnya.
Begitu sepasang kaki mulai beranjak masuk kedalam
kelas. Nampak seorang gadis belia dengan sejuta pesona dibalik senyumnya yang
luar biasa manis,
rambut hitam panjang tergerai indah, harum bunga menghipnotis puluhan pasang mata didepannya,
semua diam tak bergerak. Hening...
“Silahkan
perkenalkan diri kamu,”
perintah Bu Widya.
Semua masih menunggunya
membuka suara. Matanya sayu, sesaat Ia edarkan pandangannya
kearah kelas, dimana semua mata tertuju pada satu titik, Dia. Dengan
satu kali nafas panjang, dia pun mulai membuka suara,
“Pagi semua… Perkanalkan, aku Ririn Rinjani. Kalian
boleh panggil aku Ririn. Hobbyku melukis,
aku juga suka sekali musik. Salam kenal
semua…”
Riuhnya
pecah sedetik setelah dia menutup kalimatnya. Terutama cowok-cowok yang nampak
begitu antusias, saling berpandangan, berdengung seperti lebah dimusim kawin.
“Ok,
ok, mohon tenang dulu!”
beberapa kali Bu Widya mengetukkan spidol diatas mejanya, mengharap perhatian.
“Baiklah, Rin. Terimakasih sudah
mengenalkan diri,”
“Sekarang
siapa yang mau bertanya sama Ririn. Ibu persilahkan. Tapi ingat, jangan
rebutan. Tunjuk tangan dulu sebelum
bertanya.” katanya kemudian.
Ririn
hanya tersenyum melihat
respon teman-teman barunya itu.
“Saya,
Bu!” tunjuk seorang cowok gembul berambut acak.
“Ya,
kamu, Adit.”
“Langsung
aja ya. Hehe…” Dia
mulai cengengesan mencurigakan.
“Jadi,
kamu suka melukis,
ya?”
Ririn
mengangguk.
“Ehmmm…
kamu udah punya pacar belum?”
“Wuuu…!!!”
seisi kelas menyoraki si gembul slengean
itu. Pertanyaanya ngawur.
Lagi,
Ririn menanggapinya dengan senyum.
“Ada
lagi?” Bu Widya memastikan.
“Ya,
kamu.” tunjuknya kepada seorang cowok kacamata sebelah jendela.
Dia
pun berdiri, menunjukkan sesuatu, “Kamu
suka melukis, bukan? Ini
representasi kamu. Gimana menurutmu?”
Ririn
tersipu ketika melihat cerminan sosoknya digambar itu, begitu cantik dan lucunya dengan balutan busana ala peri tingkerbell dengan sayap
kecilnya,
“Aku suka. Terimakasih…” Ririn belum tau namanya.
Dia
melangkah maju dan langsung menjabat tangan Ririn, “Danny.” katanya mantap.
“Terimakasih... Danny.” tangannya gemetar,
pipinya merona menahan malu sekaligus senang.
“Ok, cukup,”
“Danny, silahkan kembali
ke tempat dudukmu.” Bu Widya mengambil
alih.
Danny mengundurkan diri dan kembali ke tempat duduknya
semula.
“Ririn,
silahkan ambil tempat duduk disamping Senny. Disana kosong.” Bu Widya
mempersilahkan.
Senny
tidak kalah antusias menyambut kawan barunya itu, sampai-sampai dia sendiri
yang menjemputnya kedepan kelas.
“Terimakasih
kepada kalian semua atas sambutannya. Ibu
rasa perkenalan hari ini cukup, semoga dengan adanya
Ririn, teman baru kita. Kalian bisa lebih semangat lagi belajarnya,” senyumnya licik.
“Kita mulai saja
pelajaran hari ini. Silahkan kalian siapkan kertas satu lembar, tulis nama dan
nomor absen kalian. Hari ini kita ulangan.”
Salah
satu sifat Bu Widya yang paling tidak
disukai anak-anak. Sering mengadakan
ulangan dadakan, bahkan setelah acara penyambutan barusan.
***
Ririn
Rinjani, indah ya namanya? Seorang gadis belia yang dua tahun belakangan selalu
mengganggu tidur malamku.
Adalah
seorang siswi pindahan. Menurutnya, dia lebih suka tinggal dalam satu kota dan
menetap disana. Menjalin hubungan sosial sebagaimana gadis belia lainnya, tapi
mau bagaimana, ini sudah tuntutan dinas ayahnya yang selalu dipindah tugaskan setiap
periodenya. Ayahnya seorang abdi Negara, seorang yang rela mati demi
kecintaanya terhadap tanah air. Hal tersebutlah yang juga menuntut Ririn untuk
terbiasa beradaptasi dengan lingkungan baru.
Aku mulai dekat dengannya ketika tau
rumahnya hanya beda beberapa blok dari tempat tinggalku. Mulai saat itu, aku
dan dia seringkali pulang bersama.
Tidak jarang aku harus setia
menungguinya selesai latihan ekstrakulikuler disekolah hingga sore, padahal
biasanya aku paling malas menunggu apalagi harus berjam-jam seperti itu. Tapi entahlah,
semacam ada keyakinan bahwa aku harus memastikan dia sampai rumah dengan
selamat.
***
Tumbuh pohon beringin besar disudut
lapangan upacara, tempatnya
rindang, sangat nyaman untuk sekadar berteduh atau berkumpul sembari bersenda
gurau. Tempat favorit Ririn
menghabiskan waktunya seusai latihan
ekstrakulikuler atau melukis sesuatu disana. Biasanya Ia akan mulai menggoreskan
pena, membentuk sesuatu menurut imajinasinya, apapun itu.
“Rin, belum mau pulang?” sapaku
sembari menyodorkan jus jeruk kesukaannya.
“Nanti,
ah. Aku mau selesein ini dulu,”
“Tuh
lihat, kayaknya udah mau hujan. Mendingan kita pulang deh. Ayo!”
“Sepuluh
menit lagi, please…”
“Ah,
kamu ini. Kebiasaan,”
sungutku agak kesal. Kemudian bodohnya aku malah ikut duduk disampingnya,
memperhatikan setiap tingkahnya yang pada akhirnya aku akan senyum-senyum
sendiri seperti orang gila.
‘Aku
tau, kejadian seperti ini tidak akan berlangsung lama, karena ketika dia mulai
mengikuti ayahnya untuk pindah. Maka besar kemungkinan akan jarang bertemu lagi
dengannya atau bahkan tidak akan pernah bertemu sama sekali. Entahlah… aku sih berharap waktu tak berputar
secepat itu.’
Aku membatin.
“Ayo, pulang!” tiba-tiba
dia menarik lenganku.
Aku yang sempat melamun, gelagapan
menaggapi responya yang mendadak. Tidak peduli dengan sikapku, dia terus saja
menarik lenganku. ‘Dasar, peri kucil
menyebalkan.’
BRUMMM!!
“Pegangan!” sengajaku geber gas motor biar pegangannya
semakin erat.
“Ih... jangan
kenceng-kenceng dong,” Dia ketakutan.
Hujan
turun tanpa aba-aba. Aku pinggirkan kuda besiku diemperan toko. Tubuh
kecilnya menggigil kedinginan diterpa hujan. Refleks, aku menyelimutinya dengan
jaket merah kesayanganku. “Thanks,”
katanya lembut. Tatapan matanya sayu, seolah mengisyaratkan bahwa dia ingin aku
menjaganya dan terus ada disampingnya. Ku balas tatapanya dengan senyum penuh
arti.
Lama kami saling beradu pandang, tak
kami sadari, sudah tidak ada lagi jarak antara kami, semakin dekat saja wajahku
ke wajahnya hingga deru nafasnya pun bisa aku rasakan hangatnya. ‘Dia butuh kehangatan,’
itu yang aku tangkap. Sebagai remaja yang sedang mengalami masa purber, secara
naluri bibirku dan bibirnya…
“Mas,
mas, bangun, mas, sudah subuh.” Pak Abu membangukan.
“RIRIN!”
“Ini
saya, Pak Abu, Mas. Bukan Ririn,” katanya menahan tawa.
“Eh?
Bapak? Maaf, Pak.” Aku kerjapkan mata beberapa kali, memastikan situasi.
“Tadi
saya lihat, Mas Danny ketiduran dimeja. Jadi
saya bangunin,
sudah adzan subuh. Lebih baik Mas, cuci muka dulu terus
sholat subuh bareng bapak
dimusholah.”
“Baik, Pak. Makasih sudah membangunkan.” canggung karena sempat menyangkannya Ririn.
Ketika hendak bergegas menyusul Pak Abu ke mushollah, screen laptop tidak
sengaja menampilkan potretnya, kenangan itu menyapaku kembali. Aku merindukannya...
###
#RegasGa |
ohh~ dihati ini.. hanya engkau mantan terindah~
BalasHapusplis jangan dinyanyiin plis. perih :|
Hapus